Sekali Itu

sabtu 1

SAYA bukan orang gagah yang sedemikian percaya diri mendaku sebagai pegiat literasi. Saya pajang buku-buku di teras rumah, supaya tetangga tidak sungkan untuk meminjam dan baca dibawa pulang. Sebuah akses yang terbuka 24 jam karena memang rumah saya tak berpagar. Namun, tidak lantas saya adalah pekerja literasi.

Ruang tamu, dan ruang belakang di rumah juga saya penuhi buku. Agar siapa saja yang bertandang, pandangan mata langsung termanjakan oleh hidangan pemikiran (bukan camilan atau buah-buahan, dan sajian teh manis yang memang tidak saya sediakan. He he he….)

Namun demikian, saya tidak melabeli (dengan plang besar)rumah saya sebagai perpustakaan atau taman baca, atau apalah yang lain. Ya karena itu tadi saya tidak percaya diri menyebut sebagai pegiat buku. Pegiat literasi. Paling banter ya pasang tagar #literasi, #ungaranmembaca, #ungaranmenulis, dan hashtag lain yang bersesuaian.

Tahun 2012 (atau 2013, saya agak lupa), saya pernah bikin proposal untuk mengunduh bantuan rintisan taman baca ke pemerintah via Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan memang akhirnya saya mendapatkannya. Lumayan fantastis, Rp 15.000.000. Saya bisa menambah koleksi bacaan. Bisa beli laptop. Dan almari buku.

Tapi sejak itu, dan sampai hari ini, saya tidak mau lagi berhubungan dengan proposal bantuan ke pemerintah. Berkali-kali para sahabat karib menawari kesempatan untuk mengakses bantuan (taman baca area publik, TBM kreatif, motor literasi, termasuk kampung literasi) tersebut, dengan perolehan nominal yang sungguh tak sedikit.  Syukurlah saya tetap kukuh: tidak! Cukup sekali saja. Hanya saat itu.

Entahlah. Yang jelas seusai “rintisan” itu berhamburan perasaan gemas, jengkel, marah, tertipu, dan ribet. Harus tertib pelaporan ini itu, hingga memanipulasi tanda tangan, stempel, dan angka-angka. Ah, benar-benar bikin sesak (mengenang saat itu).

Maka sejak itu saya tidak lagi suka melabeli rumah sebagai taman bacaan masyarakat. Apalagi saya pernah dijanjikan bonus Rp 1.700.000 oleh beberapa aparat dari Jakarta, tapi yang turun hanya separuh dan sisanya omong kosong. Itulah sehingga, saya jadi malas dengan istilah organisasi mitra pemerintah. Saya suka meradang melihat kinerja pengurus. Saya suka marah-marah pada satuan pendidikan nonformal yang pasang plang taman baca, tapi kosong atau minim bacaan. Yang ketika saya sambangi, yang terpajang hanya buku modul pelatihan dan buku-buku yang masih terbungkus apik. Saya pernah menjabat ketua Forum TBM Kabupaten Semarang dan sepanjang karir tak henti untuk tak mengelus dada. Baik karena dari sesama pengelola maupun aparat pemerintah.

Dan, kini saya memang masuk jajaran Pengurus Wilayah Forum TBM, tapi lebih karena perasaan tak tega pada ketua forum Jawa Tengah yang acap jadi bahan cemoohan. Namun urusan merapat ke pejabat itu, atau audiensi ke si fulan, saya bagian yang kipas-kipas bersama tukang sapu saja.

Sekali lagi, cukup sekali itu. Setelahnya, saya lebih nyaman dengan pertemanan di media sosial dan berbagi donasi buku. Tidak ribet, dan tak harus pesan atau pinjam stempel palsu guna memuluskan pelaporan. Tidak akan makan hati.

Syahdan, saya menikmati keseharian buku, lebih lantaran saya hobi dan pengin mencipta atmosfer “musyawarah buku” di rumah. Mumpung anak-anak saya masih belia. Syukur-syukur menular ke tetangga kanan kiri. Saya belanja buku online, yang acap kali harus bersitegang dengan istri karena beda prioritas. Saya juga belajar menulis, karena pengin menstrukturkan pemikiran dan perasaan sekaligus. Apalagi di Ungaran ada Kelompok Literasi Ungaran (Kelingan)—bersama Dewi Rieka, Putu Ayub Darmawan, Dyah Setyamayanti, Tri Astuti Ari Winarti, Irene Indriasari Prabowo, dan sesekali hadir tamu (penting) Tony Trax Hernanto I, serta yang lain—yang acap bikin pertemuan seraya membawa atau setor tulisan. Dalam kelompok ini bersifat cair, tapi ada dengus napas sama: belajar menulis dan berbagi buku. Bahkan dalam grup whatsapp Kelingan ada aturan, dan hingga kini masih ditaati, untuk tidak menyingkat kata.

Itu dulu. Mau subuhan… He he he.

Ungaran, 20/10/2018: 04.42

#curhatpagi

#asalcurcol

Leave a comment