[151]

IMG-20191017-WA0008

KAMI, para bapak, duduk santai sembari bercengkerama. Meski kemarau panjang, dan panas sedang menuju titik teriknya, pohon-pohon di Semirang tetaplah nyaman  buat berteduh.  Kami, persisnya saya, lebih memilih duduk-duduk di pinggir, tidak ikut cebar-cebur dalam debit air sungai yang teramat sangat sedikit itu. Anak-anak, itu pun yang balita, dan para mak asyik menghikmahi sungai. Sementara yang besar, bermain pasir, yang mengonggok di pinggir sungai di bawah pinus.

Siang itu, Kamis, 17 Oktober 2019, adalah ritual Klub CMid Semarang, nature study, ke Semirang. Menikmati sisa hutan di Semarang. Berhikmat di bawah pohon-pohon, sang penyerap karbon. Ya, kami memang ada kepentingan dengan keberadaan hutan. Selain sebagai objek nature study, hutan merupakan paru-paru bumi. Sehingga pembabatan hutan adalah kejahatan sejati terhadap iklim. Pembukaan lahan perumahan dan tempat-tempat wisata yang mengalihfungsikan hutan merupakan undangan kepada bencana. Lagi-lagi perubahan iklim itu nyata, bukan dongeng atau ilusi hoaks ilmuwan.

Kami duduk sambil mengamati heboh para mak dan anak-anak. Kami juga mengobrol tentang banyak hal. Sungguh, banyak yang kami obrolkan, cuma yang tersangkut di benak saya adalah tatkala Mas Thay bercerita buku “Sang Juragan Teh”. Saya punya buku itu, tapi saya belum baca. Saya memilikinya karena rekomendasi seorang karib di Jakarta, dan kebetulan pula, si penyunting buku ini adalah pencandu buku di CMid, Meggy Soedjatmiko.

Lagi-lagi seraya mengawasi anak-anak, percakapan kami pun terus mengalir. Dan selalu ada yang mengusik dari percakapan tersebut. Entah soal politik hari-hari ini yang mengemuka, tentang KPK, kelangsungan kepemimpinan Jokowi, labelisasi halal ala MUI, dan seterusnya. Namun, saya masih hanyut membayangkan Rudolf, sang juragan teh, ketika babat alas untuk perkebunan teh di Priangan. Apalagi Mas Thay menarik novel karya Hella S. Haasse dengan pendekatan yang dipakai Romo Mangun, YB Mangunwijaya: melihat Belanda tidak hitam putih. Bahwa ternyata ada juga pelajar Belanda, dan hal ini tak sedikit, yang ketika di Hindia Belanda, justru sangat manusiawi. Mereka menerima dan diterima baik oleh penduduk Hindia Belanda. Mereka sedemikian menghormati adat dan keseharian setempat.

Gambaran seorang Belanda macam itu tercermin pada sosok Rudolf. Ia memperlakukan orang-orang Hindia dengan penuh tenggang rasa. Menghormati tradisi yang turun temurun berlaku di tanah Sunda. Dan bahkan anaknya, malah lebih menguasai bahasa Sunda ketimbang Belanda.

“Menariknya lagi,”ujar Mas Thay, “Rudolf punya kebiasaan menulis. Ia selalu menulis surat, yang tidak hanya bertutur soal kabar gembira, tapi juga tentang mengelola perkebunan. Soal buka lahan baru, dan sebagainya.”

Kebiasaan menulis inilah yang sontak menghantui saya. Sudah lama saya absen menulis. Menulis sesuatu yang benar-benar di luar tuntutan karir. Singkatnya mengisi album harian, yang lama saya tinggalkan. Dan Rudolf seolah menghardik. (Ah, tentu saja saya tak ingin jadi pesakitan, tertuduh sebagai pemalas)

Begitulah. Setelah lewat tengah hari, pukul 12-an, kami berkemas. Lilou, putri imut Morgan-Zhenita, tampak bersikukuh ingin tetap bermain di sungai. Sementara  yang lain bersiap-siap jalan, siap menyusuri kembali setapak menuju pos jaga. Rute ke pos adalah perjalanan yang tak butuh ketabahan khusus. Karena berupa setapak menurun, sehingga tak bikin napas “ngos-ngosan”.  Matahari hari itu juga bisa dibilang tak terlalu terik. Buktinya, kami tidak sampai banjir keringat. Hanya memang, cadangan air di botol kamilah yang menipis.

Dan betapa, sepanjang menyisir setapak, semilir angin dan hening alam Semirang terus saja mengiring langkah kaki. Di tengah tiupan semilir itu pula, saya terbayang Rudolf mengagumi pegunungan Priangan, yang penuh hamparan hijau. Ia jatuh hati pada hamparan sawah dan kebun buah-buahan yang mahaindah. Ia, yang kemudian mengurangi mengonsumsi babi lantaran menghormati kebiasaan setempat, datang ke tanah Hindia meneruskan usaha perkebunan teh ayahnya. Entah, apakah ia juga mewarisi watak kolonialis sebagaimana para gubernur jenderal, saya mesti baca dulu buku tersebut. Yang jelas, ia kemudian menjadi juragan teh. Ia berhasil memproduktifkan tanah Priangan.

Nah, di Semirang ini varietas hayati pohon-pohon tampak kurang terawat. Hamparan hijau di sini kelihatan memucat, seolah merasai program serakah “pembangunan” yang setiap saat meneror. Semirang bersebelahan dengan perkebunan pala. Semirang, Penggaron, dan hutan-hutan kota yang lain tak lelah mengundang. Dan kita tinggal pilih, hadir selaku pelestari atau pembabat hutan. Hmmm, ….

Ungaran, 17/10/2019

 

Leave a comment