Kenapa Juga Menulis Ini?

08

“Lihat tuh!” pandang mata Sukinah menunjuk jauh pada debu mengepul, membumbung tinggi di antara truk-truk yang lalu lalang sekitar pabrik. “Sekarang mendingan karena habis diguyur hujan. Kalau nggak, wah benar-benar  kami dikepung oleh polusi debu.”

“Emang sebelum ada pabrik, seperti apa, Yu?” tanya Morgan.

“Tanah sini itu subur, Mas. Kami benar-benar dianugerahi sumber penghidupan yang melimpah. Semua tampak berjalan alamiah. Ada saat tanam padi, tanam jagung, musim panen, ritual syukuran, yang intinya ada hubungan mesra antara kami dengan alam. Kami makan dan minum dari yang kami tanam dan yang disuguhkan Kendeng. Kami lahir dan besar sebagai petani, yang sama sekali tak bergantung pada kekuatan industri. Sebab di sini air melimpah, tanahnya subur, pupuk kandang lebih dari cukup. Tapi semenjak perusahaan semen itu masuk ke sini, keadaan berubah. Salah satunya yang paling kentara ya itu tadi, polusi debu. Bahkan ada tetangga yang meninggal dunia akibat sesak nafas. Coba itu perhatikan!” telunjuk perempuan itu mengarah pohon nangka. “Warna kulitnya berubah jadi legam kayak pantat wajan. Ya, karena saban hari tersaput debu, Mas.”

“Aneh ya?” timpal Krisna.

“Ya, Mbak.”

“Sebetulnya bahan baku semen itu apa saja sih, Yu? Kenapa mesti di Kendeng gitu lho?” lagi-lagi Morgan mengumbar hasrat ingin tahunya.

“Ada empat, Mas: batu gamping, tanah liat atau lempung, pasir besi, dan pasir silika. Lha di Tegaldowo ini lumbung batu gamping, dan tanah liat.”

Hmm, Sukinah ini sungguh luar biasa. Aku tak habis pikir. Jelas, ia hanya petani desa. Tak mengenyam pendidikan tinggi. Mungkin sekolah menengah pun tidak. Namun, ia sanggup mengurai secara terperinci semua hal yang pernah, dan sedang berlangsung di desanya.

Sukinah, Sukinah. Sembari terguncang-guncang di atas truk, aku serius menyimak penjelasannya. Meski, jujur aku tak kunjung paham. Semua yang dipaparkannya adalah pengetahuan baru buatku. Busyet, ke mana saja aku selama ini? Belajar apa? Buku macam apa yang kubaca?

***

Ya, pagi itu, aku beserta ragilku, Rakai, dan kawan-kawan praktisi pendidikan informal meluncur ke Rembang. Kenal lebih dekat proses eksplorasi penambangan dan pabrik semen serta dampaknya pada lingkungan. Kami berendeng empat mobil, menyusuri rute jalan pantura. Rakai dan enam teman sepermainanya  berada dalam satu mobil yang dilajukan Slamat. Tiur, istri Slamat yang rupawan itu, telaten jadi navigatornya. Tak pelak, aku pun membatin bahwa pasangan suami istri ini tampak sedang mendolankan tujuh anak mereka. Betapa kemriyek suasana dalam mobil itu. Betapa kudu hati-hati Slamat, juga Tiur, yang sekaligus mengamati, menjaga, dan mengabadikan setiap gelak canda bocah-bocah. Sementara sisanya, aku beserta para karib terbagi dalam tiga kelompok, tiga mobil.

Lebih dari 3 jam kami sampai di tapak pabrik. Di tapak inilah, kulihat bekas-bekas  portal utama menuju pabrik. Portal telah dibongkar, setelah pelebaran jalan utama ke pabrik selesai dibangun.

Kemudian, tepat tengah hari, kami semua berkesempatan ngelok boyok sekaligus makan siang di rumah Sukinah. Matahari berasa persis di atas langit-langit rumah papan Sukinah ini. Udara teramat panas. Bulir-bulir keringat berjatuhan di pelipis dan leher kami. Aku berulang kali mengusap peluh yang berleleran. Pun yang lain.

Sejam  kami menikmati suguhan ala desa dari sang empu rumah. Sejam pula aku mendengar, ya, hanya mendengar paparan Kang Gun tentang persoalan pelik yang mendera petani Kendeng. PT Semen Indonesia, yang gagal menancapkan kukunya di Pati, lantas menggasak Rembang. Jauh sebelumnya, perusahaan ini sukses beroperasi di Tuban.

Di Rembang, PT Semen Indonesia mendapat perlawanan sengit dari ibu-ibu petani, yang kemudian dikenal sebagai Kartini Kendeng. Dan Sukinah, satu dari sembilan perempuan gagah itu, pantang menyerah pada bujuk rayu para kuasa modal.

Hm, dalam diam, aku merasakan betul nyala semangat Sukinah. Sembari menemani makan siang, ia mendampingi Kang Gun, turut membeber perjuangan Kendeng melawan raksasa semen.  Pengalaman bolak-balik Rembang-Jakarta, termasuk aksi cor kaki. “Pokoknya kita jangan menyerah!” katanya geram.

Pukul satu siang, truk telah bersiaga di depan rumah Sukinah. Kami semua, dengan diiring Sukinah, menaiki truk. Ya, naik truk. Hal yang mustahil menimpa kami sekira tak bertandang ke Desa Tegaldowo.

Sungguh mengesankan. Kami berayunan di atas truk. Saling pegang, saling menguatkan. Penuh canda, berikut duka. Terlebih jalan yang ditempuh, jelas-jelas jauh dari kata mulus. Jalan terjal, berbatu. Juga menanjak. Dan turunan curam.

Sepanjang perjalanan, mata kami dimanjakan oleh batu-batu gamping. Hamparan tegalan, yang lagi ditanami jagung. Sepanjang perjalanan itu pula, terutama saat merangkak di tanjakan, bibirku tak henti melangitkan doa-doa. “Ya Allah, selamatkan kami semua!” Sungguh, sebuah rute yang mendongkrak nyaliku.

“Anak-anakku,” seru Sukinah. “Sekarang tahu kan, bahwa pabrik semen ini benar-benar merusak alam. Tidak hanya di Rembang, Jawa, bahkan Kalimantan yang seberang lautan itu pun ikut rusak. Kenapa demikian? Karena untuk proses pembakaran bahan pembentuk semen itu butuh panas tinggi, yang gampang diperoleh dengan batu bara saja. Maka, Semen Indonesia mau tak mau mesti mendatangkan batu bara dari Kalimantan.”

“Terus itu apa, Bude?” tanya Kenzie, si bungsu Putri.

“Itu konveyor, Nak. Itu semacam ban berjalan yang mengangkut batu gamping ke pabrik. Jadi batu-batu kapur itu tidak lagi diangkut truk untuk sampai pabrik.”

Truk berjalan pelan. Sangat pelan. Kami, seluas mungkin, berkesempatan mengagumi sekaligus menangisi alam Kendeng Utara. Mataku tak segera beralih dari konveyor itu. Panjang bak Agasura, si ular sanca raksasa, yang melumat Khrisna dan para gembala. Mulut konveyor  itu terbuka lebar dan menelan batu-batu gamping, kemudian dimuntahkan ke pabrik. Betapa batu-batu candas itu, hanya bisa pasrah membisu. Betapa para rakus telah sukses mengangkangi mereka.

“Nah, Itu sawah Bude.” tunjuk Sukinah.

“Jauh ya!”

Memang, sawah Sukinah itu jauh dari rumahnya. Tapi berimpitan dengan lokasi penambangan. Tak jauh dari konveyor. Tidak jauh dari pabrik.

Truk pun kembali terseok-seok, menyisir terjal bebatuan arah ke Tegaldowo. Sampai di sini aku belum bisa menepis perasaan pilu. Kenapa pembangunan pabrik itu mesti ditebus dengan kerusakan alam? Kenapa mesti dengan meminggirkan petani kecil? Kenapa mesti menyudutkan orang-orang desa? Kenapa harus dilambari kelicikan politik? Kebijakan palsu? Pidato yang penuh bual? Full dusta?

So, siapa yang sesungguhnya berdaulat di negeri ini? Siapa yang memiliki hutan-hutan? Sawah-sawah? Siapa yang semestinya sah menggarap tanah tegalan itu? Siapa yang berhak menebangi pohon trembesi? Pinus? Atau Bungur? Siapa? Siapaaa?

Lebih dari itu, bagaimana masa depan anak-anak petani desa itu? Juga anak-anakku? Anak-anakmu? Anak kita?

Duhai, kenapa juga aku menuliskan ini?

Ungaran, 05/12/2019: 17.45

 

 

 

 

Leave a comment