Membiakkan Toleransi, Menyangkal Radikalisme

IMG-20191220-WA0008

NAMANYA Rahadi, presidium INSIST. Saya nyaman memanggilnya Mas Rahadi. Nah, siang itu, di Solo, tepatnya hari Jumat, 20 Desember 2019 di Hotel Loji, saya berkesempatan mengangsu “kawruh” dari dia. Berkumpul 24 orang, dan beberapa panitia penyelenggara, Yayasan KAKAK, kami membedah istilah “intoleransi” dan “radikalisme” dalam bimbingannya.

Jelas, dalam kesempatan itu, saya termasuk yang beruntung. Bagaimana tidak! Saya pelaku homeschooling, tapi paling tidak sampai detik ini saya masih menganut paham pluralis, toleransi.

Pada siang itu, sebelum Mas Rahadi, Shoim Sahriyati, Direktur Yayasan KAKAK, memapar bahwa paham radikalisme kerap terjadi atau mengemuka di keluarga-keluarga yang tak mengikutsertakan anak pada pendidikan formal. Mereka adalah keluarga tertutup. Dan mengisolasi anak dari pergaulan umum.

Saya ayah dari dua matahari, Ahimsa dan Rakai. Ahimsa, 12 tahun, kini menempuh laku prihatin atau bertarak di sebuah pesantren salaf, pondok pesantren tradsional, teramat sangat tradisional, di Magelang. Saya memahami banget model keseharian di pertapaan anak sulung saya itu. Di sana, selain mendaras kitab-kitab klasik, ia juga bersosial dengan masyarakat sekitar. Penyelenggaraan salat Jumat, misalnya, tidak dikerjakan di dalam lingkungan pondok, tetapi berbaur di masjid kampung. Belum lagi acara bakti sosial, dan seterusnya, dan sebagainya.

Sementara Rakai masih homeschooling. Sedari lahir sampai hari ini, 9 tahun, tak sedikit pun bersentuhan dengan pendidikan formal, sekolah. Ia tak sekolah. Bukan berarti saya tidak setuju sekolah. Bukan begitu. Saya memilihkan Rakai untuk menjalani pendidikan informal, karena ia merasa nyaman untuk belajar sendiri. Tidak di ruang kelas, yang bersama banyak orang, dengan metode tunggal: berbusa ceramah.

Dari situlah, saya bersiteguh dengan prinsip atmosfer. Orangtua  menguarkan keharuman semangat belajar. Belajar apa saja. Termasuk semangat bertenggang rasa, bertoleransi. Keseharian Rakai, tak secuil pula, saya papar dengan ideologi yang menghalalkan kekerasan atau ekstrem. Dalam kesehariannya juga sangat tidak saya buka kesempatan untuk berlaku dominan. Ada undang-undang keluarga, yang saya bikin bersama Rahma, bahwa setiap diri ini tidak boleh mendominasi, terutama di ruang-ruang publik.

Ya, demikianlah. Di siang hari Jumat yang penuh berkah itu, saya merasa beruntung. Setidaknya anggapan bahwa praktisi homeschooling itu tertutup, tidak toleran, dan terindikasi radikalisme, tidak maujud di biduk keluarga saya. Terlebih Mas Rahadi memang apik menggiring kami untuk tidak gampang main hitam-putih. “Hidup itu juga ada yang abu-abu. Tidak jelas hitam atau putih,” tegasnya.

“Kata kunci intoleransi itu adalah dominasi,” lanjut Mas Rahadi. “Tatkala seseorang atau kelompok begitu menggebu ingin menunjukkan taji kekuasaan dan kekuatan. Mendominasi ruang publik, seraya mengesampingkan yang lain.”

Nah, hari-hari cemas yang penuh intoleransi itu kini tampak menyeruak. Kita benar-benar dibkin cemas. Lebih lanjut Mas Rahadi mengungkap, “Kita mesti waspada  dengan radikalisme gaya baru. Mereka tidak lagi tertutup. Tidak mengkafirkan pihak lain. Mereka bermain cantik. Mereka tidak langsung menghajar ideologi Pancasila dan NKRI, tapi pelan-pelan dengan mengusung isu ketidakadilan, perubahan ekonomi, ancaman internasional, juga agama.”

Begitulah. Mata kami pun berbinar, entah paham, entah bingung, entahlah. Setidaknya, saya pulang dari gedung megah di Jalan Hasanudin 134 Punggawan, Solo, setelah berfoto bareng, terselip angan untuk turut serta menangkal gejala intoleransi dan radikalisme. Dan hal itu, berangkat dari keluarga. Merumuskan visi keluarga: Membiakkan toleransi, menyangkal radikalisme.

Miri, 21/12/2019

 

 

Leave a comment